TERIMAKASIH ANDA TELAH MENGUNJUNGI KAMI
RAPI KECAMATAN KOJA JAKARTA UTARA

Minggu, 21 November 2010

Indonesia Jadi Barometer Latihan Penyelidikan Kejahatan Transnasional

Jakarta - Belum semua masyarakat di Tanah Air mengetahui bila Indonesia menjadi proyek percontohan bagi negara dunia untuk latihan penanganan kejahatan transnasional termasuk aksi terorisme.
Indonesia telah memiliki suatu lembaga bertaraf internasional guna melatih sejumlah anggota kepolisian di dunia dalam menangani penyelidikan tindak kejahatan yang serius.
Lembaga itu bernama "Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation" (JCLEC) sebagai pusat program unggulan penegakkan hukum kejahatan transnasional khususnya terorisme yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah.
Direktur Eksekutif JCLEC, Brigadir Jenderal Polisi Boy Salamudin di Semarang, Sabtu (20/11), menjelaskan lembaga itu memiliki peran mengedepankan upaya preventif dan preemtif untuk radikalisasi terhadap pelaku transnasional termasuk teroris.
Boy menceritakan JCLEC berdiri sejak Juli 2004 dengan nuansa munculnya ancaman terhadap keamanan negara melalui aksi terorisme.
Latar belakang berdirinya JCLEC berawal saat terjadi ledakan bom pertama di Bali pada 12 Oktober tahun 2002 yang menelan korban tewas 202 orang.
Awalnya Kepolisian Federal Australia (AFP) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengadakan kerjasama melalui nota kesepahaman tentang penanganan tindak kejahatan transnasional pada 1997.
Kemudian diperbaharui pada tahun 2002 usai terjadi bom Bali pertama dengan diadakannya pertemuan antarmenteri Indonesia dan Australia di Bali, 6 Februari 2004.
"Pertemuan itu intinya membahas kerjasama penanggulangan aksi terorismeantara Australia dan Indonesia," ujar Boy.
Saat itu, Pemerintah Indonesia memiliki konsep penanganan aksi terorisme, serta segala kejahatan transnasional, sedangkan Pemerintah Australia memiliki kepedulian untuk menanggalungi tindak kejahatan serius itu.
Pada akhirnya, Australian melalui AFP dan Indonesia lewat Polri sepakat membangun JCLEC untuk melaksanakan pendidikan antisipasi terorisme yang diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri, Juli 2004.
Bagai "gayung bersambut", tidak hanya Australia dan Indonesia, pembangunan JCLEC cukup menarik perhatian dunia internasional.
Hal itu ditunjukkan dengan adanya beberapa negara besar yang bersedia menjadi donatur untuk operasional JCLEC.
Beberapa negara yang menjadi donatur tetap itu, yakni Amerika Serikat, Denmark, Kanada, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Selandia Baru, Spanyol, Swedia dan Inggris.
Negara tersebut menjadi mitra strategis untuk menjalankan program dan dana maupun pengiriman tenaga ahli.
Boy menyatakan Australia memilih Indonesia untuk menjalankan program penegakkan hukum terhadap kejahatan transnasional dibandingkan negara lain.
Jenderal polisi bintang satu itu, beralasan Indonesia merupakan negara sentral terhadap keamanan di negara kawasan Asia Tenggara maupun regional Asia maupun dunia.
Faktor lainnya, Indonesia memiliki konsep penanganan kejahatan transnasional yang lebih baik dan bom Bali merupakan insiden yang menyumbangkan korban tewas terbanyak.
"Indonesia berada pada jalur silang yang strategis, apabila Indonesia tidak aman maka akan mempengaruhi faktor keamanan di kawasan," tutur Boy.
Australia Alirkan Dana
Sementara itu, Direktur Program JCLEC, Bryan Thomson mengatakan Pemerintah Australia mendukung Indonesia menjadi "leader" untuk menjalankan program penanggulangan kejahatan serius itu.
Bahkan Thomson menyatakan Australia percaya kepada Indonesia untuk menjalankan pusat penanganan terorisme dengan mengalirkan dana ratusan miliar.
Australia melalui AFP menyumbangkan dana 36 juta dolar Australia untuk lima tahun pertama pembangunan JCLEC.
Sumbangan tetap sebesar 7 juta dolar Australia setiap tahun selama empat tahun pertama dan 20.000 ribu dolar Australia untuk biaya operasional pelatihan dan peserta setiap kursus selama satu pekan, serta sumbangan dari negara donatur lainnya.
"Namun JCLEC tidak akan berdiri jika Polri tidak menyediakan lahan seluas 6 hektar," ungkap Thomson.
Sementara itu, fasilitas akomodasi bertaraf internasional yang tersedia di JCLEC, antara lain 62 kamar, 12 villa, komputer dan jaringan internet, tempat makan berkapasitas 140 orang, tiga area rekreasi dan pusat kebugaran.
JCLEC yang berlokasi di perbukitan berdekatan dengan sekolah Akademik Kepolisian (Akpol) itu, dilengkapi sistem keamanan yang ketat, yakni pagar beraliran listrik, kamera tersembunyi, pintu gerbang hidrolik, tim anjing pelacak dan satuan petugas keamanan khusus.
Rencananya, Pemerintah Australia akan membangun pusat pelatihan serupa di kawasan Asia dengan perbandingan Indonesia sebagai proyek percontohannya.
Fokus Antipasi Kejahatan Serius
JCLEC memiliki 1.924 staf pengajar dari segala penjuru dunia, 8.094 orang peserta pelatihan dan 348 jumlah kursus atau seminar.
Boy menambahkan JCLEC khusus mendatangkan peserta dari setiap negara yang diundang pelatihan dari unsur polisi dengan pangkat perwira senior menengah ke atas atau Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) dari 46 negara.
JCLEC fokus terhadap empat materi proses penanggulangan tindak kejahatan berat, yakni intelijen, manajemen, investigasi dan forensik.
Materi pelatihan unggulan yang dipelajari, antara lain manajemen insiden pasca ledakan, program kepemimpinan intelijen kriminal, program antiteror dan penuntutan hukum, hukum dan politik Islam di Asia Tenggara, serta pengamanan bandara dan penerbangan.
Sedangkan program kurikulum meliputi kajian penyidikan, intelijen kriminal, forensik, penyidikan kejahatan keuangan dan komunikasi.
Boy menambahkan JCLEC memiliki rencana untuk melibatkan unsur militer, tokoh agama dan media massa guna menjalankan program deradikalisasi terhadap mantan pelaku teror.
Lebih lanjut, JCLEC juga akan melibatkan anggota Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) atau pasukan Detasemen 88 Antiteror (Densus AT) untuk mengikuti pelatihan penanganan aksi teror.
"Idealnya pasukan Densus 88 AT bisa mengikuti pelatihan di JCLEC agar kemampuannya lebih lengkap," tutup Boy.
Antara – 21-11-2010