TERIMAKASIH ANDA TELAH MENGUNJUNGI KAMI
RAPI KECAMATAN KOJA JAKARTA UTARA

Kamis, 09 Juni 2011

Pengungkapan Kasus Cybercrime Libatkan Polisi China dan Taiwan

Jakarta - Polri tidak sendirian dalam membongkar sindikat internasional cybercime. Penangkapan 170 WNA di 10 daerah di Jakarta dan sekitarnya ini dibantu kepolisian negara asing.

"Bareskrim Polri dan Polda Metro jaya melakukan giat penangkapan terhadap WNA asal China dan Taiwan atas dasar informasi yang diperoleh dari Kepolisian RRC dan Taiwan bahwa banyak korban penipuan melalui internet/ Cybercrime yang hasil lidik nya pelaku berada di wilayah Indonesia," ujar Kabagpenum Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafli Amar dalam pesan singkatnya kepada wartawan, Kamis (9/6/2011).

Dari total 170 orang tersebut, 120 orang berjenis kelamin pria sementara sisanya perempuan. Mereka kini sedang diperiksa oleh petugas imigrasi untuk diketahui kelengkapan dokumennya.

"Selanjutnya Bareskrim Polri bekerja sama dengan Ditjen Imigrasi akan melakukan penelitian terhadap dokumen yang mereka miliki," jelas Boy.

Setelah cek kelengkapan selesai, Polri akan berkoordinasi dengan kepolisian China dan Taiwan."Selanjutnya akan dikoordinasikan dengan kepolisian RRC dan Taiwan untuk dilakukan langkah selanjutnya," tutur Boy.

Boy menjelaskan, ratusan WNA itu ditangkap di 10 lokasi yang berbeda, yakni daerah Serpong, Bekasi, dan Jakarta utara. Penangkapan dilakukan mulai siang sampai sore tadi.

"Pada hari ini sekitar jam 12.00- 17.00 WIB Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya melakukan giat penangkapan terhadap WNA asal China dan Taiwan," katanya.

(mei/gah) E Mei Amelia R detikNews Kamis, 09/06/2011

Selasa, 07 Juni 2011

Dua Sekolah Penolak Hormat Bendera Terkait Laskar Poso

Bendera Merah Putih 

KARANGANYAR- Salah satu sekolah di Karanganyar, Jawa tengah, yang menolak menghormat bendera merah Putih, disebut memiliki afiliasi dengan tokoh laskar Jihad Poso.

Pernyataan ini diungkapkan Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama karanganyar Zuhaid dalam rapat bersama Muspida setempat, Selasa (7/6/2011).

Zuhaid menduga, Al Irsyad Tawangmangu berafiliasi dengan Ponpes Al Irsyad di Salatiga, yang waktu itu dipimpin oleh ustaz Jafar Umar Tholib. Diketahui bahwa Jafar Umar Thalib, adalah salah satu sponsor dari Laskar Jihad yang ada di Poso.

“Jafar Umar Thalib adalah pendiri Ponpes Ihya As Sunnah Yogyakarta. Beliau adalah tokoh Laskar Jihad, yang juga sponsor Laskar Jihad di Poso,“ jelas Zuhaid.

Seperti apa bentuk afiliasinya, Zuhaid tak menerangkan lebih jauh. Ajaran yang dianut oleh Al Irsyad Tawangmangu, sama dengan apa yang diyakini oleh Jafar Umar Thalib.

“Mereka memiliki ajaran dan fatwa seperti apa yang ada di Arab saudi. Menghormat bendera bagi mereka adalah bid’ah dan tidak perlu dilakukan.” tambahnya.

Seperti yang diberitakan sebelumnya dua sekolah yang tidak mau hormat kepada bendera Merah Putih yakni Yayasan Perguruan Islam Al Irsyad Al Islamiyah Tawangmangu dan SD IST Al Albani Matesih.

Atas keputusan tersebut, pimpinan sekolah dinilai tak memiliki rasa nasionalisme. Sehingga Pemerintah Kabupaten Karanganyar mengancam akan membubarkan sekolah tersebut. (Widi Nugroho/RCTI/mbs)

Rabu, 01 Juni 2011

Habibie: Pancasila Bukan Milik Satu Rezim Pemerintahan

Bacharuddin Jusuf Habibie.

Jakarta - Mantan Presiden BJ Habibie menegaskan, Pancasila bukan milik satu rezim pemerintahan. Upaya melupakan ideologi itu sebagai trauma sejarah adalah kesalahan besar bangsa Indonesia.

"Harus diakui bahwa dimasa lalu, Pancasila telah diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli penafsiran untuk digunakan melanggengkan kekuasaan," ujar Habibie Saat menghadiri peringatan Pidato Bung Karno tentang Pancasila 1 Juni di Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta,

Akibatnya ketika terjadi pergantian rezim, Habibie melanjutkan, muncul demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggap sebagai ikon atau simbol politik rezim sebelumnya. Pancasila disalahkan sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

"Menurut saya, ini merupakan kesalahan mendasar karena Pancasila bukan merupakan representasi sekelompok orang, golongan atau orde pemerintahan tertentu, melainkan pondasi dasar bangunan negara Indonesia," ujarnya.

Pada bagian lain pidatonya, Habibie menegaskan bahwa Pancasila sudah mengalami berbagai ujian sejak zaman demokrasi parlementer, terpimpin, hingga multi partai saat ini.

Namun, Habibie juga mempertanyakan dimana posisi Pancasila sekarang ini. "Pertanyaan ini penting karena sejak reformasi bergulir, ideologi bangsa itu seolah tenggelam dari memori kolektif bangsa ini," ujarnya seraya menambahkan fakta bahwa Pancasila semakin jarang dikutip, dibahas dan apalagi diterapkan dalam konteks kehidupan berbangsa bernegara.

Hiruk pikuk demokrasi dan kebebasan berpolitik di indonesia saat ini, kata Habibie, tidak pernah lagi menyertakan Pancasila itu.

Atas berbagai fenomena itu, Habibie mengemukakan penjelasannya atas sejumlah penyebabnya, yakni adanya situasi kehidupan bangsa telah berubah dalam konteks nasional, regional dan global dan hal itu akan terus terjadi.

Penyebab berikutnya adalah perkembangan khasanah hak asasi manusia yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia.

"Padahal hak harus diimbangi dengan kewajiban," ujarnya. Selanjutnya juga ada faktor lonjakan kemajuan informasi di masyarakat. Ketiga perubahan itu, menurut Habibie, telah mendorong pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut Habibie mengemukakan bahwa atas semua perubahan itu, perlu adanya reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai jawabannya. Kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia terasa kering sebelum adanya reaktualisasi nilai-nilai pancasila itu.

"Orde lama, orde baru dan orde manapun, Pancasila tetap jadi jati diri bangsa ini. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, bangsa ini akan kehilangan arah perjalanannya," ujar Habibie dan disambut tepuk tangan para hadirin.

Habibie juga menilai bahwa reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya ditengah semakin maraknya faham radikalisme saat ini.
(*)(ANTARA News) Rabu, 1 Juni 2011
Editor: AA Ariwibowo

Hari Lahir Pancasila Jadi Momentum Mantapkan Ideologi

Hari Lahir Pancasila Jadi Momentum Mantapkan Ideologi

Jakarta - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan, peringatan Hari Lahir Pancasila harus menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk memantapkan ideologi Pancasila sebagai jembatan menuju negara kesejahteraan.

"Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika merupakan ideologi dan jati diri bangsa Indonesia yang harus terus dipertahankan, karena Indonesia dengan jati dirinya itu adalah konsep kehidupan negara kesejahteraan," kata Aburizal Bakrie melalui siaran persnya di Jakarta, Selasa dalam menyambut peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2011.

Menurut Aburizal, permasalahan ideologi yang dihadapi bangsa Indonesia sangat kompleks, tidak hanya mencakup dimensi nasional tetapi juga pada tataran internasional.

Persoalan itu, kata dia, seperti munculnya isu gerakan Negara Islam Indonesia (NII), fenomena krusial tentang perang melawan terorisme, praktik liberalisasi pasar, serta ancaman terhadap "human security" yang ditandai dengan ancaman krisis pangan dan energi.

Hal ini, katanya, merupakan fenomena yang dapat mengoyak sistem nilai dalam tata peradaban dunia yang dapat mempengaruhi perilaku bangsa ini.

"Mengatasi problem yang bersifat ideologis seperti itu tidak bisa hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan, tapi harus dijawab dengan menggunakan pendekatan ideologis dan kesejahteraan," kata Aburizal.

Bagi Partai Golkar, menurut dia, pemantapan ideologi Pancasila merupakan jawaban terhadap permasalahan ideologis yang melanda peradaban dunia dan bangsa ini.

"Pancasila adalah ideologi yang dapat mempersatukan kita sebagai suatu bangsa," katanya.

Mantan Menko Kesra ini menambahkan, Pancasila sebagai ideologi harus diterjemahkan ke dalam bahasa perilaku, sehingga diperlukan kesadaran awal yakni menyadari nilai-nilai luhur kemanusian yang sama.

Aburizal Bakrie juga mengingatkan, pemantapan ideologi Pancasila harus sejalan dengan kualitas demokrasi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Menurut dia, pembangunan bangsa di segala bidang mempersyaratkan adanya stabilitas politik untuk menopang gerak laju pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan yang melibatkan pelaku-pelaku ekonomi daerah dan nasional secara proporsional dan profesional.

"Dengan demokrasi yang berkualitas, maka stabilitas politik juga akan berkualitas dan selanjutnya menjadi modal dasar bagi percepatan pembangunan Indonesia di segala bidang, khususnya di bidang ekonomi,? ujarnya.

Dalam kaitan itulah, katanya, pihaknya meyakini konsepsi negara kesejahteraan merupakan formula menuju kemandirian bangsa ini, dimana negara kesejahteraan memungkinkan adanya intervensi negara demi mencapai suatu kesejahteraan rakyat.

?Negara kesejahteraan berciri adanya peran negara dalam membantu masyarakat yang lemah. Campur tangan negara diperlukan untuk membantu orang-orang yang termarjinalkan," katanya.

Aburizal menambahkan, bangsa Indonesia juga tidak boleh membiarkan orang mengatakan siapa yang kuat itulah yang menang, dan sebaliknya tidak boleh membiarkan negara ini berubah menjadi negara liberal.

Partai Golkar, kata dia, juga mengingatkan bahwa warga negara Indonesia harus menghormati pemerintah dan penegak hukum, meskipun kehormatan itu tidak boleh hanya berasal dari legitimasi formal semata.

Negara, pemerintah, serta aparat pemerintah, kata Aburizal, juga harus memperlihatkan bahwa otoritas formal akan semakin dihormati dan dipatuhi jika pemerintah serta penegak hukum bersikap dan bertindak penuh suri tauladan.

"Pemerintah akan semakin dihormati jika memperjuangkan keadilan, kemajuan, dan betul-betul memperlihatkan satunya kata dan perbuatan," ujar Aburizal.
(ANTARA 31/5/2011)